Pernahkah Anda merasa bingung saat sedang shalat berjamaah, lalu menyadari bahwa orang di sebelah Anda membaca doa qunut saat Subuh, sementara Anda tidak? Atau ketika melihat posisi tangan mereka berbeda—ada yang meletakkan tangan di dada, di bawah pusar, bahkan membiarkannya lurus di samping badan? Padahal, semuanya sama-sama Muslim, sama-sama shalat, dan sama-sama mengucap “Allahu Akbar.”
Pertanyaan semacam ini bukan hal baru. Diskusi mengenai perbedaan tata cara shalat telah lama menjadi perbincangan hangat, baik di forum kajian, grup WhatsApp keluarga, hingga obrolan santai selepas Jumatan di warung kopi. Namun, yang sering luput dari pembahasan adalah mengapa perbedaan ini bisa terjadi, dari mana asalnya, dan yang terpenting, apakah perbedaan tersebut dibenarkan dalam Islam?
Asal Mula Perbedaan Mazhab
Perbedaan tata cara shalat sebenarnya berakar dari perbedaan ijtihad para ulama dalam memahami dan merumuskan syariat Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Generasi sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in berusaha menggali hukum-hukum ibadah, termasuk shalat, berdasarkan Al-Qur’an dan hadis. Dari proses inilah lahir empat mazhab fikih besar yang dikenal hingga saat ini: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.
Masing-masing mazhab memiliki metodologi tersendiri dalam menafsirkan dalil dan memilah riwayat. Perbedaan metodologi inilah yang menjadi akar dari variasi dalam praktik shalat yang kita temui hari ini.
Ragam Perbedaan yang Kerap Ditemui
Salah satu perbedaan yang paling sering menimbulkan pertanyaan adalah doa qunut dalam shalat Subuh. Mazhab Syafi’i menganjurkan pembacaan qunut sebagai sunnah muakkad berdasarkan hadis dari Anas bin Malik, “Rasulullah SAW senantiasa membaca qunut pada shalat Subuh hingga beliau meninggalkannya” (HR. Ahmad, An-Nasa’i, dan Al-Baihaqi). Sementara itu, mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali tidak mewajibkan qunut, kecuali dalam kondisi darurat seperti musibah besar (qunut nazilah).
Perbedaan lain juga terlihat dalam posisi tangan saat berdiri dalam shalat. Mazhab Hanafi menyarankan tangan diletakkan di bawah pusar berdasarkan hadis Wa’il bin Hujr. Mazhab Syafi’i dan Hanbali meletakkannya di atas pusar atau di dada, sedangkan mazhab Maliki membiarkan tangan lurus di sisi badan, sebagaimana praktik penduduk Madinah pada masa Imam Malik.
Contoh ketiga yang juga sering ditemui adalah bacaan di antara dua sujud. Mazhab Syafi’i mengajarkan bacaan lengkap: “Rabbighfirli, warhamni, wajburni, warzuqni, warfa’ni, wa’afini, wahdini.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah). Sedangkan Hanafi dan Hanbali cukup membaca “Rabbighfirli, Rabbighfirli,” dan Maliki menggunakan doa yang singkat namun tetap mengandung permohonan ampun dan rahmat.
Kenapa Bisa Berbeda Padahal Dalilnya Sama?
Satu pertanyaan yang wajar muncul adalah: mengapa dalilnya sama, tapi hasilnya bisa berbeda?
Jawabannya terletak pada metode ijtihad masing-masing mazhab. Misalnya, mazhab Hanafi cenderung mengedepankan qiyas (analogi) dan pertimbangan kemaslahatan umum. Mazhab Maliki sangat menghargai praktik penduduk Madinah sebagai representasi ajaran Nabi. Mazhab Syafi’i menekankan pada keabsahan sanad hadis, sementara Hanbali sangat ketat dalam memilih riwayat paling otentik dan menghindari takwil.
Dengan pendekatan yang berbeda-beda ini, maka wajar jika menghasilkan variasi dalam praktik. Namun, penting digarisbawahi bahwa semua perbedaan tersebut memiliki landasan dalil yang sahih dan melalui proses ijtihad yang mendalam.
Nabi Muhammad SAW sendiri pernah menyampaikan bahwa:
“Apabila seorang hakim berijtihad lalu benar, maka baginya dua pahala. Dan apabila dia berijtihad lalu salah, maka baginya satu pahala.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Toleransi dan Penghargaan
Perbedaan dalam tata cara shalat semestinya tidak menjadi alasan untuk saling mencela atau mempertanyakan keabsahan ibadah orang lain. Justru sebaliknya, perbedaan ini menunjukkan betapa kaya dan fleksibelnya khazanah fikih Islam. Para ulama terdahulu saling menghormati perbedaan pendapat, tidak saling merendahkan, bahkan saling belajar dari ijtihad satu sama lain.
Daripada sibuk memperdebatkan qunut, posisi tangan, atau bacaan tertentu, alangkah lebih baik jika kita fokus pada hal yang paling esensial dalam shalat: kekhusyukan. Karena yang paling penting bukanlah di mana posisi tangan kita, melainkan apakah hati kita benar-benar hadir di hadapan Allah dalam setiap rakaat yang kita kerjakan.
Penulis : Najma Rahmatunnisa | Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor : Anisa Putri