Dalam lanskap politik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan serta Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara sering kali menimbulkan perdebatan panjang.
Salah satu pasal yang paling disorot, yakni Pasal 1 huruf a, memberikan hak pensiun seumur hidup kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), meskipun masa jabatan mereka hanya lima tahun. Ironisnya, hak itu dapat diwariskan kepada keluarga.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang keadilan sosial dan kesetaraan kebijakan publik. Di satu sisi, para wakil rakyat memperoleh jaminan finansial hingga akhir hayat meski hanya mengabdi sebentar.
Di sisi lain, aparatur sipil negara (ASN) yang bekerja puluhan tahun harus menunggu hingga usia pensiun untuk memperoleh tunjangan serupa. Jurang ketimpangan ini mencerminkan bagaimana kebijakan publik kerap berpihak pada mereka yang berada di lingkar kekuasaan.
Kritik terhadap aturan pensiun DPR tak berhenti di situ. Banyak pihak menilai ketentuan ini turut mendorong munculnya fenomena “artis masuk politik”. Pasal-pasal dalam undang-undang tersebut seolah membuka peluang bagi figur publik untuk menikmati hak-hak istimewa legislatif tanpa terlebih dahulu menunjukkan kompetensi dan dedikasi terhadap kepentingan rakyat. Popularitas kerap dijadikan modal utama untuk melenggang ke Senayan, sementara tanggung jawab legislasi menjadi urusan belakangan.
Di sisi lain, pimpinan DPR berpendapat bahwa hak pensiun adalah bagian dari sistem yang sah secara hukum dan harus dijalankan berdasarkan ketentuan yang berlaku. Pandangan ini tentu sah, tetapi tidak menjawab keresahan publik terkait beban keuangan negara.
Berdasarkan data, lebih dari 5.000 mantan anggota DPR kini tercatat sebagai penerima pensiun. Jika ditelusuri, dana yang diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terus meningkat setiap tahun, menambah tekanan fiskal di tengah kebutuhan rakyat yang semakin besar.
Sudah saatnya kebijakan ini dikaji ulang. Pemerintah, bersama Kementerian Keuangan dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap skema pensiun pejabat publik.
Transparansi dan akuntabilitas harus ditegakkan agar kebijakan keuangan negara tidak menimbulkan kecemburuan sosial. Alternatifnya, sebagian anggaran yang dialokasikan untuk pensiun anggota DPR dapat dialihkan ke sektor yang lebih mendesak, seperti kesejahteraan ASN, tenaga medis, dan guru mereka yang justru menjadi tulang punggung pelayanan publik.
Lebih dari sekadar revisi undang-undang, perubahan juga harus datang dari kesadaran politik masyarakat. Pemilih harus lebih cermat menilai calon wakil rakyat, bukan dari popularitasnya, tetapi dari rekam jejak dan integritasnya.
Politik seharusnya menjadi ladang pengabdian, bukan sarana memperkaya diri. Ketika prinsip ini dipegang teguh, barulah keadilan dalam kebijakan publik bisa benar-benar dirasakan oleh semua warga negara.
Penulis : Nadhifa Fitriani | Mahasiswa UIN Raden Intan Lampung
Editor : Anisa Putri









