Ketimpangan Pensiun DPR: Sudah Saatnya Berbenah?

- Redaksi

Rabu, 29 Oktober 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ilustrasi ketimpangan dan privilese di balik kebijakan pensiun DPR — simbol pertemuan antara kekuasaan dan uang, sementara rakyat kecil terus menanggung bebannya. (pinterest.com)

Ilustrasi ketimpangan dan privilese di balik kebijakan pensiun DPR — simbol pertemuan antara kekuasaan dan uang, sementara rakyat kecil terus menanggung bebannya. (pinterest.com)

Dalam lanskap politik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan serta Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara sering kali menimbulkan perdebatan panjang.

Salah satu pasal yang paling disorot, yakni Pasal 1 huruf a, memberikan hak pensiun seumur hidup kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), meskipun masa jabatan mereka hanya lima tahun. Ironisnya, hak itu dapat diwariskan kepada keluarga.

Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang keadilan sosial dan kesetaraan kebijakan publik. Di satu sisi, para wakil rakyat memperoleh jaminan finansial hingga akhir hayat meski hanya mengabdi sebentar.

Di sisi lain, aparatur sipil negara (ASN) yang bekerja puluhan tahun harus menunggu hingga usia pensiun untuk memperoleh tunjangan serupa. Jurang ketimpangan ini mencerminkan bagaimana kebijakan publik kerap berpihak pada mereka yang berada di lingkar kekuasaan.

Kritik terhadap aturan pensiun DPR tak berhenti di situ. Banyak pihak menilai ketentuan ini turut mendorong munculnya fenomena “artis masuk politik”. Pasal-pasal dalam undang-undang tersebut seolah membuka peluang bagi figur publik untuk menikmati hak-hak istimewa legislatif tanpa terlebih dahulu menunjukkan kompetensi dan dedikasi terhadap kepentingan rakyat. Popularitas kerap dijadikan modal utama untuk melenggang ke Senayan, sementara tanggung jawab legislasi menjadi urusan belakangan.

Baca Juga :  Puskesmas Kedungwuni II Canangkan Program GASBRO, Wujudkan Keluarga Sehat Bebas Asap Rokok

Di sisi lain, pimpinan DPR berpendapat bahwa hak pensiun adalah bagian dari sistem yang sah secara hukum dan harus dijalankan berdasarkan ketentuan yang berlaku. Pandangan ini tentu sah, tetapi tidak menjawab keresahan publik terkait beban keuangan negara.

Berdasarkan data, lebih dari 5.000 mantan anggota DPR kini tercatat sebagai penerima pensiun. Jika ditelusuri, dana yang diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terus meningkat setiap tahun, menambah tekanan fiskal di tengah kebutuhan rakyat yang semakin besar.

Baca Juga :  Peran Orang Tua dalam Perkembangan Belajar Anak

Sudah saatnya kebijakan ini dikaji ulang. Pemerintah, bersama Kementerian Keuangan dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap skema pensiun pejabat publik.

Transparansi dan akuntabilitas harus ditegakkan agar kebijakan keuangan negara tidak menimbulkan kecemburuan sosial. Alternatifnya, sebagian anggaran yang dialokasikan untuk pensiun anggota DPR dapat dialihkan ke sektor yang lebih mendesak, seperti kesejahteraan ASN, tenaga medis, dan guru mereka yang justru menjadi tulang punggung pelayanan publik.

Lebih dari sekadar revisi undang-undang, perubahan juga harus datang dari kesadaran politik masyarakat. Pemilih harus lebih cermat menilai calon wakil rakyat, bukan dari popularitasnya, tetapi dari rekam jejak dan integritasnya.

Politik seharusnya menjadi ladang pengabdian, bukan sarana memperkaya diri. Ketika prinsip ini dipegang teguh, barulah keadilan dalam kebijakan publik bisa benar-benar dirasakan oleh semua warga negara.


Penulis : Nadhifa Fitriani | Mahasiswa UIN Raden Intan Lampung

Editor : Anisa Putri

Follow WhatsApp Channel sorotnesia.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Pembubaran Satgas BLBI dan Ancaman Ketimpangan Hukum di Indonesia
Ketimpangan Hukum di Indonesia: Antara Idealitas dan Realitas
Negara dan Kegagalan Menjamin Hak atas Pangan Aman
Ketimpangan Hukum di Indonesia: Antara Idealitas dan Realitas Penegakan Keadilan
Makanan Bergizi Gratis: Antara Hak Anak dan Kewajiban Negara
Hak Asasi Manusia: Nyata atau Sekadar Slogan?
Ketika Hukum Tidak Berpihak pada Masyarakat Kecil
Patriarki Bukan Tradisi, Melainkan Hambatan Kemajuan

Berita Terkait

Rabu, 29 Oktober 2025 - 15:56 WIB

Ketimpangan Pensiun DPR: Sudah Saatnya Berbenah?

Rabu, 29 Oktober 2025 - 15:10 WIB

Pembubaran Satgas BLBI dan Ancaman Ketimpangan Hukum di Indonesia

Selasa, 28 Oktober 2025 - 17:49 WIB

Ketimpangan Hukum di Indonesia: Antara Idealitas dan Realitas

Selasa, 28 Oktober 2025 - 09:16 WIB

Negara dan Kegagalan Menjamin Hak atas Pangan Aman

Senin, 27 Oktober 2025 - 21:28 WIB

Makanan Bergizi Gratis: Antara Hak Anak dan Kewajiban Negara

Berita Terbaru

Ilustrasi ketimpangan dan privilese di balik kebijakan pensiun DPR — simbol pertemuan antara kekuasaan dan uang, sementara rakyat kecil terus menanggung bebannya. (pinterest.com)

Opini

Ketimpangan Pensiun DPR: Sudah Saatnya Berbenah?

Rabu, 29 Okt 2025 - 15:56 WIB

Opini

Negara dan Kegagalan Menjamin Hak atas Pangan Aman

Selasa, 28 Okt 2025 - 09:16 WIB