Perkembangan teknologi digital dalam satu dekade terakhir telah menghadirkan generasi baru pelaku usaha dari kalangan Generasi Z atau yang lebih akrab disebut Gen Z. Mereka adalah individu yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012, tumbuh dalam ekosistem internet, media sosial, serta kemudahan akses informasi yang membuat mereka jauh lebih adaptif terhadap perubahan teknologi.
Gen Z dikenal kreatif, berani mengambil risiko, dan cepat dalam membaca peluang. Keberanian itu kemudian melahirkan banyak usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dengan pemilik dari generasi ini.
Kehadiran UMKM milik Gen Z tentu memberikan warna baru bagi perekonomian Indonesia. Mereka menghidupkan pasar dengan produk makanan kekinian, fesyen yang mengikuti tren, hingga layanan digital yang mengandalkan kreativitas konten.
Namun, di balik semangat dan inovasi tersebut, ada tantangan mendasar yang sering kali terabaikan, yakni pengelolaan kas. Padahal, manajemen kas merupakan urat nadi keberlangsungan sebuah usaha. Tanpa pengelolaan yang baik, ide kreatif sebesar apa pun bisa kehilangan napas sebelum sempat berkembang lebih jauh.
UMKM Gen Z memiliki karakteristik yang khas. Sebagian besar usaha mereka berbasis digital, baik melalui e-commerce maupun media sosial. Kehadiran teknologi memberi peluang besar karena pasar dapat dijangkau lebih luas. Namun, transaksi digital yang terjadi secara real time justru menuntut pencatatan keuangan yang lebih rapi.
Gen Z juga cenderung mengutamakan tren dan kreativitas. Mereka berani mencoba hal baru, misalnya membuka usaha minuman viral atau memproduksi konten fesyen yang sedang naik daun. Tantangannya, tren selalu berubah cepat, sehingga pendapatan tidak stabil dan membuat manajemen kas semakin kompleks.
Selain itu, orientasi mereka lebih sering tertuju pada pertumbuhan cepat. Banyak pengusaha muda merasa puas ketika jumlah pengikut media sosial meningkat atau ketika produk mereka viral di pasaran. Namun, aspek keberlanjutan keuangan sering kali terabaikan. Hal ini diperparah dengan keterbatasan modal yang dimiliki.
Sebagian besar UMKM Gen Z memulai usaha dari tabungan pribadi atau pinjaman keluarga. Kondisi tersebut membuat arus kas menjadi rapuh. Begitu terjadi kesalahan kecil dalam pencatatan atau pengeluaran, usaha bisa terguncang bahkan terhenti.
Manajemen kas yang baik sebenarnya bukanlah sesuatu yang rumit, melainkan keterampilan praktis yang bisa dipelajari siapa pun. Keberadaannya sangat penting untuk menjaga kelancaran operasional. Dengan kas yang cukup, pemilik usaha dapat membayar pemasok, menggaji karyawan, melaksanakan promosi, hingga melunasi biaya utilitas tepat waktu. Tanpa kas, semua operasional itu akan tersendat, dan pada akhirnya reputasi usaha bisa ikut jatuh.
Tidak hanya itu, manajemen kas juga membantu UMKM Gen Z menghindari risiko utang konsumtif. Generasi muda kerap tergoda menggunakan pinjaman instan atau layanan paylater untuk menutup biaya operasional.
Kebiasaan ini bisa menjadi bom waktu jika tidak diimbangi dengan pencatatan arus kas yang baik. Manajemen kas juga memberikan gambaran nyata mengenai kemampuan finansial usaha. Melalui catatan arus kas, pemilik bisa menilai apakah sudah saatnya membuka cabang baru, menambah stok barang, atau melakukan promosi besar-besaran.
Keberadaan dana darurat juga menjadi bagian tak terpisahkan dari manajemen kas. Kita semua menyadari betapa cepatnya pasar berubah. Hari ini sebuah produk bisa viral, esoknya bisa sepi peminat. Gangguan eksternal seperti pandemi pun bisa membuat penjualan turun drastis.
Dengan menyisihkan sebagian laba sebagai dana cadangan, UMKM Gen Z dapat bertahan menghadapi guncangan tersebut. Lebih jauh lagi, manajemen kas yang rapi akan meningkatkan kredibilitas usaha. Investor, lembaga keuangan, bahkan mitra bisnis akan lebih percaya pada UMKM yang memiliki catatan keuangan yang jelas.
Sayangnya, penerapan manajemen kas di kalangan Gen Z tidak lepas dari berbagai tantangan. Banyak pemilik usaha muda yang sebenarnya sangat terampil dalam membuat konten promosi, tetapi kurang terbiasa menyusun laporan keuangan.
Akibatnya, uang pribadi dan uang usaha sering bercampur. Selain itu, gaya hidup konsumtif yang lekat dengan Gen Z kerap membuat keuntungan usaha justru dialokasikan untuk kebutuhan pribadi. Bisnis yang berbasis tren pun menambah kerumitan, sebab pendapatan bisa naik turun dengan cepat, sehingga sulit menyusun perencanaan keuangan jangka panjang.
Ada pula kebiasaan kurang disiplin dalam menyisihkan laba. Banyak pengusaha muda lebih memilih menghabiskan keuntungan untuk kegiatan promosi tanpa analisis mendalam. Jika strategi pemasaran tersebut gagal, modal bisa tergerus habis dan usaha pun runtuh.
Meski begitu, semua tantangan tersebut dapat diatasi jika UMKM Gen Z mau beradaptasi. Salah satu langkah paling sederhana adalah memisahkan keuangan pribadi dan keuangan usaha. Membuka rekening khusus untuk bisnis akan membantu mencatat arus kas dengan lebih jelas.
Penyusunan anggaran bulanan juga penting dilakukan. Dengan adanya anggaran, kebutuhan operasional, biaya promosi, dan rencana pengembangan bisa diprediksi lebih akurat.
Kedisiplinan dalam mencatat setiap transaksi, sekecil apa pun, juga akan membantu pemilik usaha menilai pola pemasukan dan pengeluaran. Dari situ, strategi bisnis bisa dievaluasi. Menyisihkan sebagian laba untuk dana darurat menjadi langkah bijak yang bisa menyelamatkan usaha saat pendapatan menurun.
Sementara itu, penggunaan utang sebaiknya benar-benar dikendalikan. Jika pun harus berutang, tujuannya harus jelas dan bersifat produktif, misalnya untuk menambah stok barang yang sudah dipastikan akan laku di pasaran.
Manajemen kas juga perlu ditopang dengan peningkatan literasi keuangan. Gen Z yang akrab dengan teknologi dapat memanfaatkan aplikasi akuntansi digital yang user-friendly. Mereka juga bisa mengikuti pelatihan singkat atau memanfaatkan konten edukasi keuangan yang tersedia secara gratis di internet.
Contoh sederhana dapat kita lihat pada pengusaha muda yang membuka bisnis minuman kekinian. Pada enam bulan pertama, bisnis berjalan lancar karena tren sedang naik. Namun, karena seluruh keuntungan digunakan untuk membeli barang-barang pribadi, tidak ada dana cadangan yang tersisa. Ketika tren mulai redup, usaha tersebut kesulitan membayar sewa tempat dan akhirnya tutup dalam waktu singkat.
Bandingkan dengan pengusaha lain yang sejak awal disiplin memisahkan keuangan, mencatat transaksi, dan menyisihkan dana darurat. Saat tren menurun, ia masih memiliki ruang untuk berinovasi, entah dengan menciptakan menu baru atau mengubah strategi promosi.
Dari situ terlihat jelas bahwa kreativitas saja tidak cukup. Kreativitas memang menjadi kekuatan Gen Z, tetapi tanpa disiplin finansial, usaha mereka hanya akan berumur pendek. Manajemen kas adalah fondasi yang membuat bisnis bisa bertahan melewati pasang surut tren pasar.
Kesimpulannya, UMKM dengan pemilik dari kalangan Gen Z memiliki potensi besar dalam menggerakkan perekonomian Indonesia. Energi muda, kreativitas, dan kedekatan mereka dengan teknologi adalah modal penting.
Namun, semua itu akan rapuh jika manajemen kas diabaikan. Dengan penerapan strategi sederhana seperti memisahkan keuangan pribadi, menyusun anggaran, menyisihkan dana darurat, dan rutin menganalisis arus kas, UMKM Gen Z dapat membangun bisnis yang berkelanjutan.
Kreativitas harus berjalan seiring dengan kedisiplinan finansial. Hanya dengan cara itu, UMKM Gen Z bukan sekadar mengikuti tren sesaat, tetapi juga mampu tumbuh menjadi kekuatan ekonomi yang nyata bagi masyarakat.
Penulis : M Nurwahyu Al Risqi | PKN STAN (Treasuri 6-1)
Editor : Anisa Putri