Desa Pelayang, yang terletak di seberang Sungai Batanghari, Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi, sering dianggap sebagai tempat yang damai dan tenang, jauh dari kebisingan kota. Namun, di balik kesan tersebut, terdapat sisi lain yang menyeramkan dari kehidupan di desa ini.
Kehidupan yang penuh tantangan ini seringkali tidak terungkap secara luas, tetapi dirasakan secara mendalam oleh masyarakatnya, termasuk saya sebagai salah satu penduduk desa tersebut.
Desa Pelayang terletak jauh dari pusat kota, sehingga akses ke fasilitas umum seperti rumah sakit dan pasar sangat terbatas. Kondisi alam yang ekstrem, seperti hujan lebat, banjir, dan tanah longsor, sering kali mengancam keselamatan masyarakat.
Kejadian anak-anak tenggelam di Sungai Batanghari menambah kekhawatiran orang tua terhadap keselamatan anak-anak mereka. Selain itu, jalan-jalan yang rusak dan buruknya pengelolaan air PDAM menyebabkan kesulitan dalam beraktivitas sehari-hari, termasuk mendapatkan air bersih. Semua ini memaksa masyarakat hidup dalam keterbatasan dan ketidakpastian.
Kehidupan di desa ini juga ditandai dengan minimnya fasilitas dan infrastruktur. Listrik sering kali tidak stabil, dan kelangkaan air bersih membuat banyak warga terpaksa memanfaatkan Sungai Batanghari untuk mandi dan mencuci.
Fasilitas kesehatan juga sangat terbatas, sehingga masyarakat harus menyebrangi sungai dengan sampan atau perahu kecil hanya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Bahkan, air bersih pun harus dibeli dengan harga tinggi, menambah beban hidup masyarakat.
Masalah kriminalitas dan kekerasan menjadi momok lain di desa ini. Kasus pencurian, perkelahian, dan kekerasan dalam rumah tangga sering terjadi. Kurangnya pengawasan dan lemahnya penegakan hukum membuat kejahatan semakin merajalela.
Sebagai contoh, pelaku pencurian barang seperti ponsel, televisi, dan tabung gas sering kali dibiarkan bebas tanpa proses hukum yang memadai. Hal ini menimbulkan rasa takut dan kecemasan di kalangan warga.
Desa ini juga dikenal dengan mitos dan cerita rakyatnya yang menyeramkan. Kisah tentang hantu, kuntilanak, dan makhluk gaib lainnya menjadi topik pembicaraan sehari-hari. Cerita-cerita ini sering digunakan untuk menjelaskan fenomena alam yang sulit dipahami, tetapi juga menciptakan rasa takut yang mendalam di tengah masyarakat.
Mayoritas masyarakat desa ini beragama Islam, tetapi kepercayaan terhadap roh leluhur masih kuat memengaruhi kehidupan mereka. Ketika ada yang sakit atau melahirkan, banyak yang memilih berobat ke dukun. Akibatnya, pernah terjadi kasus kematian karena penanganan yang tidak tepat.
Kurangnya pengajian dan ceramah agama juga membuat pengetahuan tentang ajaran Islam menjadi terbatas, memperparah situasi ini. Beberapa warga bahkan percaya bahwa pengaruh roh leluhur dapat membantu mereka dalam berbagai aspek kehidupan, meskipun sering kali kepercayaan ini tidak memiliki dasar yang jelas.
Pengaruh media sosial telah membuat masyarakat desa mulai mengadopsi gaya hidup kebarat-baratan. Misalnya, banyak perempuan di desa ini mengenakan pakaian yang dianggap tidak sesuai dengan norma setempat.
Hal ini menciptakan dampak negatif bagi anak-anak dan menimbulkan kontroversi di masyarakat. Perubahan gaya hidup ini sering kali menjadi perbincangan hangat di antara warga desa, yang sebagian merasa bahwa nilai-nilai tradisional semakin tergerus.
Salah satu masalah serius di desa ini adalah penyalahgunaan narkoba dan minuman keras. Bahkan, remaja di bawah umur terlibat dalam perilaku ini. Setiap ada acara, minuman keras dan narkoba seperti sabu sering kali menjadi bagian dari perayaan. Mirisnya, beberapa warga desa sendiri yang menjadi pemasok barang haram ini.
Sebagai contoh, seorang warga yang telah lama menjual sabu baru ditangkap pada tahun 2024, meskipun sebelumnya pernah dipenjara dengan kasus serupa. Sayangnya, tidak ada efek jera bagi pelaku, sehingga masalah ini terus berlanjut. Selain itu, penggunaan narkoba sering kali melibatkan anak-anak muda yang seharusnya bersekolah, tetapi malah terjebak dalam lingkaran pergaulan yang salah.
Sebagian besar masyarakat desa ini menganggap pendidikan tidak terlalu penting. Mereka hanya menyekolahkan anak-anak hingga tingkat sekolah dasar, dengan alasan bahwa sekolah lebih lanjut hanya akan membuang uang.
Akibatnya, banyak anak yang tidak melanjutkan pendidikan, terjebak dalam perilaku berisiko seperti penyalahgunaan narkoba dan pernikahan dini. Kurangnya sosialisasi dan seminar tentang pentingnya pendidikan semakin memperburuk situasi ini. Selain itu, tidak adanya akses mudah ke sekolah yang berkualitas juga menjadi kendala utama bagi masyarakat desa. Anak-anak yang seharusnya mendapatkan pendidikan yang layak harus menghadapi perjalanan panjang dan sulit untuk mencapai sekolah terdekat.
Meskipun kehidupan di desa ini penuh tantangan, ada berbagai upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasinya. Pemerintah dapat berperan dengan meningkatkan akses ke fasilitas umum, memperbaiki infrastruktur, dan memperkuat pengawasan keamanan. Di sisi lain, masyarakat desa juga harus aktif dalam meningkatkan kesadaran, pendidikan, dan partisipasi dalam kegiatan sosial serta ekonomi.
Dengan kerja sama antara pemerintah dan masyarakat, tantangan ini dapat diatasi, dan kehidupan di Desa Pelayang dapat menjadi lebih baik. Selain itu, penting bagi masyarakat desa untuk mulai menyadari pentingnya pendidikan dan peran agama dalam membentuk karakter generasi muda. Dengan demikian, masyarakat desa dapat bergerak menuju kehidupan yang lebih harmonis dan sejahtera.
Penulis : Iyer / Universitas Dharmas Indonesia
Editor : Anisa Putri