Pernikahan dini, terutama di Kecamatan Padang Laweh, telah menjadi fenomena yang lazim dan tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang sakral. Bahkan, praktik ini telah dianggap sebagai bagian dari adat istiadat.
Pernikahan dini mengacu pada pernikahan yang melibatkan individu di bawah usia 18 tahun, yang sering kali belum matang secara fisik, mental, maupun emosional. Hal ini memicu banyak permasalahan, termasuk tingginya angka perceraian dalam usia pernikahan yang masih sangat muda dan berbagai dampak negatif lainnya.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 7 Ayat (1), perkawinan hanya diizinkan jika pria berusia 19 tahun dan wanita berusia 16 tahun. Ketentuan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya pernikahan dini.
Sementara itu, Pasal 6 Ayat (2) menyebutkan bahwa seseorang di bawah usia 21 tahun harus mendapatkan izin dari orang tua untuk menikah. Meskipun peraturan ini dirancang untuk melindungi anak-anak dari risiko pernikahan dini, kenyataannya banyak masyarakat yang tetap melanggarnya dengan alasan budaya atau tekanan sosial.
Pernikahan dini tidak dapat disalahartikan sebagai cinta yang terlarang. Namun, waktu yang kurang tepat untuk menikah sering kali membawa konsekuensi negatif. Di sisi lain, pernikahan dini dianggap solusi untuk menghindari dosa atau kemaksiatan. Dalam praktiknya, alasan-alasan seperti ini sering digunakan untuk membenarkan tindakan yang sebenarnya merugikan individu, terutama perempuan.
Faktor utama yang menyebabkan pernikahan dini sangat beragam. Salah satunya adalah elemen individu. Perkembangan fisik, mental, dan sosial yang berbeda pada setiap individu dapat mempercepat keputusan untuk menikah muda.
Dalam beberapa kasus, ini sering kali dianggap sebagai tanda kedewasaan. Namun, pada kenyataannya, kematangan fisik tidak selalu berbanding lurus dengan kematangan emosional dan mental, sehingga memicu berbagai konflik dalam kehidupan rumah tangga.
Minimnya akses pendidikan, terutama bagi anak perempuan, juga menjadi salah satu faktor utama. Banyak masyarakat beranggapan bahwa pendidikan tinggi bagi perempuan tidak terlalu penting karena mereka akhirnya akan kembali ke urusan rumah tangga.
Padahal, pendidikan adalah kunci bagi perempuan untuk memahami hak-haknya dan melawan tekanan sosial atau keluarga untuk menikah dini. Kurangnya pemahaman ini sering kali membuat mereka terjebak dalam siklus pernikahan dini, yang pada akhirnya menghambat potensi mereka untuk berkembang.
Budaya dan tradisi juga memainkan peran besar dalam fenomena ini. Di beberapa wilayah, pernikahan dini dianggap sebagai bagian dari tradisi atau kewajiban budaya. Anak perempuan sering kali ditekan untuk menikah muda demi menjaga kehormatan keluarga atau memenuhi norma sosial.
Tekanan ini membuat banyak anak merasa tidak memiliki pilihan lain selain menerima pernikahan pada usia yang tidak tepat bagi mereka. Selain itu, faktor kemiskinan menjadi alasan dominan lain yang memicu pernikahan dini.
Banyak keluarga menganggap pernikahan sebagai cara untuk mengurangi beban ekonomi. Namun, pernikahan dini sering kali memperburuk kondisi finansial karena pasangan muda tidak memiliki keterampilan atau pendidikan yang memadai untuk mencari nafkah. Hal ini justru memperpanjang lingkaran kemiskinan di masyarakat.
Dampak dari pernikahan dini sangatlah signifikan, baik bagi individu, keluarga, maupun masyarakat. Salah satu dampak paling serius adalah pada kesehatan reproduksi dan fisik perempuan. Perempuan yang menikah pada usia terlalu muda berisiko tinggi mengalami komplikasi kehamilan, kelahiran prematur, dan masalah pada organ reproduksi.
Tubuh yang belum sepenuhnya berkembang sulit menanggung beban kehamilan, sehingga meningkatkan risiko preeklamsia atau bahkan kematian ibu dan bayi. Kondisi ini tidak hanya membahayakan individu yang terlibat, tetapi juga berpengaruh pada kesejahteraan generasi berikutnya.
Selain itu, pernikahan dini sering kali menyebabkan tekanan psikologis. Individu yang belum matang secara emosional merasa sulit menghadapi tanggung jawab rumah tangga, yang dapat memicu kecemasan, depresi, atau konflik dalam pernikahan.
Banyak pasangan muda yang merasa terjebak dalam situasi yang tidak mereka pahami sepenuhnya, sehingga menimbulkan ketidakbahagiaan dalam kehidupan pernikahan mereka. Hal ini juga berkontribusi pada tingginya angka perceraian di kalangan pasangan muda.
Aspek lain yang sering terabaikan adalah dampaknya terhadap pendidikan. Anak-anak yang menikah dini, terutama perempuan, sering kali harus meninggalkan sekolah untuk mengurus keluarga. Hal ini tidak hanya membatasi potensi mereka untuk berkembang, tetapi juga meningkatkan risiko kemiskinan di masa depan.
Pendidikan yang terputus membuat mereka tidak memiliki keterampilan atau pengetahuan yang cukup untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Akibatnya, mereka menjadi lebih rentan terhadap ketergantungan ekonomi dan tekanan sosial yang lebih besar.
Pernikahan dini juga meningkatkan risiko kekerasan dalam rumah tangga. Individu yang masih muda sering kali belum memiliki keterampilan untuk berkomunikasi atau menyelesaikan konflik secara dewasa, sehingga konflik mudah berujung pada kekerasan. Dalam banyak kasus, kekerasan ini tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga emosional, yang meninggalkan dampak jangka panjang pada korban.
Meskipun pernikahan dini memiliki banyak dampak negatif, ada juga dampak positif yang dapat muncul, seperti rasa tanggung jawab yang lebih besar dan peningkatan kedewasaan. Namun, dampak positif ini tidak sebanding dengan risiko yang ditimbulkan.
Oleh karena itu, penting untuk mencari solusi yang efektif untuk mengurangi pernikahan dini. Salah satu cara adalah melalui edukasi dan pemberdayaan masyarakat. Pendidikan harus diutamakan, terutama bagi perempuan, untuk meningkatkan kesadaran akan hak-hak mereka dan memberikan mereka kesempatan untuk berkembang.
Selain itu, kampanye kesadaran tentang pentingnya menikah pada usia yang matang perlu dilakukan secara intensif, baik oleh pemerintah maupun organisasi masyarakat sipil.
Perlu juga ditekankan pentingnya dukungan dari keluarga dan komunitas dalam mencegah pernikahan dini. Keluarga harus memberikan pendidikan dan bimbingan yang tepat kepada anak-anak mereka tentang pentingnya menunda pernikahan hingga usia yang tepat.
Di sisi lain, komunitas dapat berperan dengan menciptakan lingkungan yang mendukung, di mana anak-anak perempuan dapat mengembangkan potensi mereka tanpa tekanan untuk menikah dini.
Pernikahan yang sehat dan harmonis hanya dapat dicapai jika individu yang terlibat memiliki kesiapan fisik, mental, dan emosional yang memadai. Oleh karena itu, masyarakat perlu memahami pentingnya menunda pernikahan hingga usia yang tepat demi kebaikan semua pihak. Dengan langkah-langkah yang tepat, kita dapat mengurangi angka pernikahan dini dan menciptakan masyarakat yang lebih sejahtera dan berkeadilan.
Penulis : Nur Meilina Sugiarti / Universitas Dharmas Indonesia
Editor : Anisa Putri