Dosen Star Syndrome adalah fenomena yang belakangan ini semakin banyak diperbincangkan di dunia pendidikan, khususnya di perguruan tinggi. Fenomena ini menggambarkan kondisi di mana seorang dosen dengan reputasi tinggi, baik karena prestasi akademik maupun penghargaan yang diterima, menjadi pusat perhatian dalam kelas. Meskipun hal ini sering dianggap positif, dampaknya terhadap dinamika kelas dan interaksi mahasiswa bisa lebih rumit dari yang terlihat.
Kehadiran dosen yang mengalami Star Syndrome dapat mengubah suasana kelas secara drastis. Mahasiswa sering merasa terinspirasi oleh pengajaran dosen yang berprestasi tinggi, tetapi kehadiran dosen yang dominan ini juga dapat menimbulkan ketidaknyamanan.
Mahasiswa mungkin cenderung lebih banyak mendengarkan daripada berpartisipasi dalam diskusi, yang pada akhirnya menyebabkan kelas menjadi kurang interaktif. Hal ini tentu menghambat proses pembelajaran yang seharusnya melibatkan dialog aktif antara dosen dan mahasiswa.
Tak hanya dinamika kelas, interaksi sosial antara mahasiswa juga bisa terpengaruh. Ketika seorang dosen menjadi “bintang,” mahasiswa sering merasa tertekan untuk menunjukkan pengetahuan mereka atau merasa inferior dibandingkan dengan dosen yang memiliki reputasi tinggi. Kondisi ini bisa menciptakan ketidakseimbangan dalam percakapan, di mana sebagian mahasiswa lebih banyak berbicara, sementara yang lainnya cenderung diam. Akibatnya, interaksi sosial di dalam kelas menjadi tidak seimbang dan terbatas.
Dampak dari Dosen Star Syndrome juga bisa memengaruhi kesehatan mental mahasiswa. Mahasiswa yang merasa terintimidasi atau kesulitan bersaing dengan dosen yang berprestasi tinggi dapat merasakan stres atau kecemasan. Rasa cemas ini, pada gilirannya, dapat menurunkan motivasi belajar mereka dan membuat mereka enggan untuk berpartisipasi dalam kegiatan kelas.
Untuk mengatasi masalah ini, penting bagi institusi pendidikan untuk menciptakan lingkungan belajar yang inklusif. Dosen perlu diberikan pelatihan untuk memfasilitasi diskusi yang melibatkan seluruh mahasiswa dan mendorong mereka untuk berbagi pandangan dan ide. Dengan pendekatan pengajaran yang lebih kolaboratif, suasana kelas yang lebih seimbang dan interaktif bisa tercipta.
Selain itu, mahasiswa juga perlu didorong untuk lebih aktif berpartisipasi dan merasa nyaman untuk menyampaikan pendapat mereka. Program mentoring atau kelompok belajar dapat menjadi solusi yang efektif untuk meningkatkan interaksi antar mahasiswa dan mengurangi rasa canggung yang mungkin timbul akibat keberadaan dosen yang berprestasi tinggi.
Dengan pemahaman yang baik dan langkah-langkah yang tepat untuk mengatasi tantangan yang ada, kita dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih inklusif dan mendukung. Dalam suasana seperti ini, setiap mahasiswa akan merasa dihargai dan termotivasi untuk berpartisipasi. Melalui kolaborasi yang baik, dampak negatif Dosen Star Syndrome dapat diubah menjadi peluang untuk meningkatkan kualitas pendidikan di perguruan tinggi.
Penulis : Fatih Muhammad Dary
Editor : Anisa Putri