Fenomena budaya pop Jepang, termasuk anime dan manga, telah menjadi bagian dari dinamika global. Di Indonesia, pengaruh budaya ini cukup besar, terutama di kalangan generasi muda. Namun, di balik popularitasnya, ada stigma stereotipikal yang sering kali dilekatkan pada para penggemarnya, yang biasa disebut “wibu.”
Istilah ini kerap digunakan dengan konotasi negatif, menggambarkan individu yang dianggap terlalu terobsesi dengan budaya Jepang. Padahal, pemahaman lebih dalam tentang wibu dapat membantu kita memahami bahwa stigma ini tidak sepenuhnya adil.
Istilah “wibu” berasal dari kata bahasa Inggris, weeaboo, yang mengacu pada seseorang yang memiliki obsesi berlebihan terhadap budaya pop Jepang. Awalnya, kata ini diperkenalkan melalui komik Perry Bible Fellowship karya Nicholas Gurewitch, yang kemudian menggantikan istilah lama, wapanese.
Di Indonesia, istilah ini sudah sangat familiar di kalangan pengguna media sosial meskipun belum resmi terdaftar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Sebagai individu yang telah lama mengikuti dunia otaku, saya menyadari bagaimana masyarakat memandang komunitas ini. Tidak jarang, wibu diidentikkan dengan berbagai stereotip negatif seperti malas, antisosial, kurang pergaulan, bahkan dianggap “sampah masyarakat.” Stereotip semacam ini sering kali diproduksi oleh konten-konten di media sosial atau kolom komentar di berbagai platform.
Dalam wawancara saya dengan seorang penggemar anime, ia memberikan pandangan yang cukup menarik. Ketika saya menanyakan pendapatnya tentang stigma wibu, ia berkata, “Pandangan masyarakat terhadap wibu sering kali negatif karena dianggap antisosial atau aneh. Misalnya, ada anggapan wibu membawa dakimakura ke acara publik, meskipun itu jarang terjadi di Indonesia.”
Namun, ia juga menunjukkan sisi positif dari menjadi wibu. Ia berkata, “Melalui anime, kita bisa belajar banyak hal, seperti nilai kekeluargaan, persahabatan, bahkan sains, sejarah, dan budaya militer. Hobi ini memberi banyak wawasan.”
Ketika saya bertanya apakah seorang wibu sebaiknya melanjutkan hobinya, jawabannya cukup tegas. “Boleh saja, asalkan tidak berlebihan. Jangan sampai perilaku kita dianggap aneh oleh masyarakat karena itulah yang sering menjadi sumber stereotip negatif.”
Istilah “wibu” sering kali disalahpahami dan disamakan dengan “otaku.” Padahal, ada perbedaan besar di antara keduanya. Otaku adalah individu yang memiliki minat mendalam pada satu aspek budaya Jepang, seperti anime, game, atau manga.
Sebaliknya, wibu lebih mengacu pada orang yang terlalu terobsesi hingga mencoba meniru budaya Jepang dalam kehidupan sehari-hari. Ketidaktahuan akan perbedaan ini sering kali menjadi penyebab munculnya stigma di masyarakat.
Stigma terhadap wibu juga tidak lepas dari faktor edukasi. Banyak orang yang belum memahami apa itu wibu dan cenderung menganggapnya sebagai perilaku menyimpang. Ketidaktahuan ini memberikan ruang bagi stereotip negatif untuk tumbuh subur.
Selain itu, media massa sering kali mempengaruhi persepsi masyarakat. Representasi buruk tentang wibu di media, misalnya dengan menggambarkan mereka sebagai individu eksentrik atau tidak realistis, semakin memperkuat pandangan negatif. Faktor lain yang berkontribusi adalah norma sosial.
Dalam masyarakat yang menjunjung tinggi norma tertentu, individu yang dianggap berbeda cenderung menjadi sasaran stigma. Wibu, dengan ketertarikan mereka terhadap budaya asing, sering kali dianggap melanggar norma tersebut.
Meskipun demikian, menjadi wibu juga memiliki dampak positif dan negatif. Dari sisi positif, hobi ini dapat menjadi sarana untuk belajar dan mengembangkan diri. Sebagaimana diungkapkan narasumber saya, anime dapat mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang penting, seperti kekeluargaan, kerja sama, dan persahabatan.
Selain itu, menonton anime bisa menjadi cara untuk mengisi waktu luang dan mengurangi stres. Namun, ada pula sisi negatifnya. Beberapa wibu mungkin lupa waktu karena terlalu asyik menonton anime, begadang hingga larut malam, atau bahkan kehilangan kemampuan membedakan antara realitas dan fantasi.
Pertanyaan yang muncul adalah, mengapa kita begitu mudah menghakimi? Dalam bukunya Theory U: Leading from the Future as it Emerges, Profesor Otto Scharmer menjelaskan bahwa ada tiga komponen utama yang menyebabkan kita cepat memberikan penilaian: voice of judgment, voice of cynicism, dan voice of fear.
Komponen pertama, voice of judgment, membuat kita terjebak dalam sudut pandang sempit. Kita sering kali merasa tengah berpikir kritis, padahal sebenarnya kita sedang menjadi terlalu judgmental. Komponen kedua, voice of cynicism, mendorong kita untuk menolak kelompok atau individu yang berbeda dari kita dengan menciptakan sentimen negatif. Sementara itu, voice of fear adalah rasa takut terhadap hal-hal baru atau asing yang tidak sesuai dengan kebiasaan kita, mirip dengan gejala xenophobia.
Profesor Scharmer juga menawarkan solusi untuk mengatasi kecenderungan ini, yaitu membuka pikiran (open mind), membuka hati (open heart), dan memperbesar tekad (open will). Pendekatan ini didukung oleh berbagai ahli, termasuk Ning Alissa Wahid, seorang psikolog dan putri sulung Gus Dur.
Namun, dalam pandangan saya, solusi ini perlu dilengkapi dengan peningkatan literasi. Dengan literasi yang baik, seseorang dapat memahami suatu fenomena dengan lebih objektif dan menghindari stereotip yang tidak berdasar.
Untuk mengurangi stigma terhadap wibu, masyarakat perlu diberi pemahaman yang lebih baik tentang subkultur ini. Edukasi melalui seminar, diskusi terbuka, dan kampanye media dapat menjadi langkah efektif untuk mengubah pandangan negatif menjadi positif. Masyarakat perlu diajak untuk melihat bahwa ketertarikan terhadap budaya Jepang adalah bagian dari keberagaman budaya yang patut dihormati.
Pada akhirnya, stigma stereotipikal terhadap wibu mencerminkan betapa pentingnya pemahaman dan toleransi dalam masyarakat yang multikultural. Dengan meningkatkan literasi dan edukasi, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih inklusif, di mana setiap individu merasa dihargai tanpa memandang latar belakang minat mereka. Mengurangi stigma bukan hanya tugas para wibu, tetapi tanggung jawab bersama kita sebagai masyarakat.
Saya berharap opini ini dapat memberikan wawasan baru tentang komunitas wibu dan otaku. Tentu, setiap orang berhak untuk memiliki pendapat, baik itu positif maupun negatif. Namun, alangkah baiknya jika opini tersebut didasarkan pada pemahaman yang mendalam, bukan sekadar asumsi atau prasangka.
Penulis : Ayu zakia wulandari
Editor : Anisa Putri