Upaya Bersama Menghadapi Tingginya Angka Putus Sekolah

- Jurnalis

Rabu, 15 Mei 2024

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ilustrasi/kompas

Ilustrasi/kompas

Tingginya angka putus sekolah di Indonesia masih menjadi masalah serius yang memengaruhi daya saing bangsa. Berdasarkan laporan tahunan World Economic Forum (WEF) 2018 yang dirilis oleh Kompas.com, peringkat daya saing Indonesia memang naik dua peringkat ke posisi 45 dari 140 negara.

Namun, kemajuan ini belum mencerminkan keberhasilan di bidang pendidikan. Indonesia hanya unggul dalam pangsa pasar dengan skor 81,6, peringkat ke-8 dunia, tetapi masih tertinggal dibandingkan Singapura, Malaysia, dan Thailand dalam aspek lainnya, termasuk kualitas pendidikan. Salah satu indikatornya adalah tingginya angka putus sekolah.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2020, angka putus sekolah menunjukkan persentase anak yang tidak menyelesaikan jenjang pendidikan tertentu, seperti SD atau SMP. Sebagai contoh, hasil penelitian Rokhmaniyah, Kartika Chrysti Suryandari, dan Siti Fatimah menunjukkan bahwa pada tahun 2022, angka putus sekolah di tingkat Sekolah Dasar di Kabupaten Kebumen mencapai 88,09%.

Situasi ini tentu memprihatinkan, mengingat pendidikan dasar merupakan fondasi utama dalam membentuk pengetahuan, sikap, dan keterampilan anak-anak bangsa. Terlebih, Indonesia telah memiliki slogan wajib belajar 9 tahun yang seharusnya menjadi prioritas.

Salah satu penyebab utama anak putus sekolah adalah faktor ekonomi. Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS pada Maret 2016 mengungkapkan bahwa dari total anak usia sekolah yang tidak bersekolah, sebanyak 23,09% berasal dari keluarga miskin. Hal ini menunjukkan bahwa kemiskinan menjadi hambatan utama dalam akses pendidikan.

Baca Juga :  Sarjana Muslim di Tengah Tantangan Dunia Kerja

Selain itu, terdapat faktor nonekonomi yang turut memengaruhi, seperti kurangnya perhatian orang tua, minimnya fasilitas belajar, rendahnya minat anak, budaya lokal, lokasi sekolah yang sulit dijangkau, hingga mutu pembelajaran yang rendah.

Masalah lainnya meliputi hubungan guru dan siswa yang tidak harmonis, kurangnya motivasi baik dari guru maupun siswa, serta kendala emosional yang dihadapi anak di lingkungan sekolah. Faktor-faktor ini menciptakan lingkungan belajar yang tidak kondusif, sehingga mendorong anak-anak untuk berhenti sekolah.

Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan strategi yang komprehensif. Pertama, pemerintah perlu menambah akses pendidikan nonformal seperti kejar paket A di daerah terpencil. Program ini dapat membantu anak-anak yang tidak dapat melanjutkan pendidikan formal.

Kedua, pengelolaan sekolah harus lebih inklusif, memastikan bahwa semua anak, tanpa terkecuali, memiliki kesempatan belajar yang sama. Ketiga, peran perangkat desa dan ibu PKK sangat penting dalam mengawasi dan mendukung keberlangsungan pendidikan anak-anak di komunitasnya.

Baca Juga :  Islam dan Luka Ekologis: Menimbang Kembali Etika Pertambangan dalam Perspektif Syariat

Subsidi pendidikan juga harus ditingkatkan dan distribusinya diawasi agar tepat sasaran. Subsidi ini tidak hanya mencakup biaya sekolah, tetapi juga kebutuhan pendukung seperti seragam, buku, dan alat tulis.

Selain itu, pemerintah desa dapat mengeluarkan peraturan tentang wajib belajar 9 tahun sebagai persyaratan administratif tertentu, seperti menikah. Hal ini bertujuan untuk mendorong masyarakat agar lebih memperhatikan pendidikan anak-anak mereka.

Sistem zonasi dalam penerimaan siswa baru juga perlu dioptimalkan untuk memastikan bahwa anak-anak yang tinggal di sekitar sekolah memiliki akses prioritas. Dengan demikian, kendala jarak tidak lagi menjadi alasan anak berhenti sekolah.

Di sisi lain, sekolah harus meningkatkan kualitas pembelajaran dan menyediakan dukungan seperti kelas remedial serta kegiatan ekstrakurikuler yang dapat memotivasi siswa untuk tetap belajar.

Pendidikan adalah investasi jangka panjang yang menentukan masa depan bangsa. Oleh karena itu, seluruh pihak, baik pemerintah, masyarakat, maupun keluarga, harus berkolaborasi untuk memastikan bahwa setiap anak Indonesia mendapatkan haknya untuk bersekolah.

Dengan upaya yang terintegrasi, diharapkan angka putus sekolah dapat ditekan, sehingga generasi mendatang dapat tumbuh menjadi individu yang kompeten dan berdaya saing di tingkat global.

Penulis : Prinka Resti Arudya Sesya dan Rokhmaniyah / S-2 PGSD Kebumen FKIP UNS

Editor : Anisa Putri

Follow WhatsApp Channel sorotnesia.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Sarjana Muslim di Tengah Tantangan Dunia Kerja
Islam dan Luka Ekologis: Menimbang Kembali Etika Pertambangan dalam Perspektif Syariat
Antara Husnuzan dan Trust Issue: Menjaga Keseimbangan di Tengah Dunia yang Rumit
Fatwa-Fatwa Kontemporer Ulama Dunia soal Perang: Antara Jihad dan Kemanusiaan
Pernikahan Dini dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Indonesia: Antara Syariat dan Regulasi Negara
Kenapa Tata Cara Shalat Berbeda? Ini Penjelasan Menurut Mazhab
BNPL: Inovasi Finansial atau Jeratan Riba?
Perbedaan Pendapat Ulama: Kekuatan atau Kelemahan Bagi Umat Islam ?

Berita Terkait

Senin, 30 Juni 2025 - 21:30 WIB

Sarjana Muslim di Tengah Tantangan Dunia Kerja

Sabtu, 28 Juni 2025 - 14:40 WIB

Islam dan Luka Ekologis: Menimbang Kembali Etika Pertambangan dalam Perspektif Syariat

Sabtu, 28 Juni 2025 - 14:10 WIB

Antara Husnuzan dan Trust Issue: Menjaga Keseimbangan di Tengah Dunia yang Rumit

Jumat, 27 Juni 2025 - 19:30 WIB

Fatwa-Fatwa Kontemporer Ulama Dunia soal Perang: Antara Jihad dan Kemanusiaan

Jumat, 27 Juni 2025 - 14:29 WIB

Pernikahan Dini dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Indonesia: Antara Syariat dan Regulasi Negara

Berita Terbaru

Dua profesional sedang bekerja bersama dengan penuh fokus, mencerminkan etos kerja yang terencana, terstruktur, dan produktif sebagaimana diajarkan dalam Islam. Foto: Pexels/Mikhail Nilov

Opini

Sarjana Muslim di Tengah Tantangan Dunia Kerja

Senin, 30 Jun 2025 - 21:30 WIB