Pancasila telah begitu sering terdengar dalam berbagai ruang kehidupan kita dari upacara bendera setiap Senin hingga pidato kenegaraan pada peringatan hari besar nasional. Namun, bagi sebagian anak muda masa kini, terutama mereka yang lahir dan tumbuh dalam pusaran dunia digital, Pancasila kerap hanya bergema sebagai rangkaian kalimat yang dihafalkan tanpa perlu dipahami lebih dalam.
Menghafal lima sila tentu bukan persoalan; banyak yang bisa melakukannya dengan lancar. Tetapi memahami makna di balik setiap sila, lalu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, masih menjadi pekerjaan rumah yang tak sederhana.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa Pancasila sering kali berhenti sebagai teks normatif, tidak tampil sebagai pedoman hidup yang aktif mengarahkan perilaku. Padahal, di tengah derasnya arus teknologi, globalisasi, dan perubahan sosial yang begitu cepat, nilai-nilai Pancasila justru semakin relevan.
Kita hidup pada masa ketika media sosial, kecerdasan buatan, dan informasi instan menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian. Generasi Z yang kreatif, adaptif, dan terbuka terhadap dunia merupakan kelompok yang paling kuat terpapar perubahan ini. Tanpa fondasi nilai yang kokoh, mereka dapat dengan mudah kehilangan arah dan terhanyut dalam budaya yang serba cepat dan dangkal.
Di sinilah Pancasila menemukan urgensi barunya. Ia bukan sekadar simbol atau dokumen sejarah negara, melainkan kompas moral yang menuntun arah perjalanan generasi. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana menjadikan Pancasila tetap hidup dan bermakna bagi Gen Z bukan sebagai hafalan, tetapi sebagai gaya hidup kreatif yang sesuai dengan dinamika zaman.
Tantangan Generasi Z dalam Arus Digital
Kemajuan teknologi membawa kemudahan, tetapi juga menghadirkan tantangan baru. Media sosial, misalnya, mampu menyebarkan informasi dalam hitungan detik. Tidak semua informasi itu benar, dan tidak semua anak muda memiliki kemampuan literasi digital yang memadai untuk memilah mana yang layak dipercayai. Akibatnya, kita kerap menjumpai fenomena ujaran kebencian, penyebaran hoaks, intoleransi, hingga budaya pamer (flexing) yang mendorong perilaku konsumtif.
Banyak konten di platform digital yang tanpa disadari menggeser pola pikir generasi muda menuju gaya hidup hedonistis. Padahal, sila kelima Pancasila mengajarkan nilai kesederhanaan, keadilan, dan keseimbangan.
Bila nilai ini tidak dibaca dalam konteks kekinian, generasi muda akan melihat Pancasila sebagai konsep yang usang dan tidak relevan. Padahal bukan nilai Pancasila yang tertinggal oleh zaman; cara kita mengomunikasikannya lah yang perlu diperbarui.
Cara-cara lama seperti ceramah formal, hafalan di kelas, atau pendidikan yang bersifat monolog—tidak lagi efektif bagi Gen Z. Mereka membutuhkan pendekatan kreatif, kontekstual, dan berbasis pengalaman, yang memungkinkan mereka memaknai Pancasila melalui hal-hal yang dekat dengan kehidupan mereka.
Pancasila sebagai Gaya Hidup Kreatif Gen Z
Generasi muda sesungguhnya memiliki potensi besar untuk menghidupkan kembali Pancasila melalui kreativitas. Justru kreativitas itulah pintu masuk yang paling efektif. Nilai-nilai Pancasila tidak harus diajarkan lewat ceramah panjang. Nilai itu dapat dihidupkan melalui gaya hidup dan ekspresi kreatif yang akrab bagi Gen Z.
Di dunia digital misalnya, banyak anak muda yang sudah memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan pesan positif. Mereka membuat video pendek di TikTok tentang toleransi antaragama, infografis di Instagram mengenai gotong royong, atau konten edukatif di YouTube tentang pentingnya keadilan sosial. Pendekatan seperti ini lebih mudah diterima karena sesuai dengan karakter visual dan cepat yang menjadi budaya digital.
Pendekatan kreatif lainnya dapat berupa wadah-wadah kegiatan partisipatif. Forum seperti “Ruang Cendekia” atau komunitas belajar yang menggabungkan aktivitas seni, permainan peran, diskusi kelompok, dan proyek sosial, dapat menjadi ruang bagi generasi muda untuk belajar nilai Pancasila melalui pengalaman langsung. Ketika mereka terlibat dalam kegiatan kolaboratif, bekerja sama, dan saling membantu, nilai gotong royong tidak lagi sekadar konsep yang dipelajari di buku.
Semangat Pancasila juga dapat hadir melalui inovasi sosial. Banyak anak muda saat ini membangun startup sosial yang bertujuan membantu masyarakat kecil, menyediakan akses pendidikan, atau memfasilitasi kegiatan pemberdayaan.
Proyek berbasis kolaborasi seperti ini menjadi wujud nyata dari sila kedua dan kelima: kemanusiaan dan keadilan sosial. Teknologi pun menjadi alat yang mempercepat terwujudnya nilai-nilai itu bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai sarana untuk menebarkan empati, kreativitas, dan kerja sama.
Peran Keluarga dan Pendidikan dalam Menumbuhkan Spirit Pancasila
Keluarga tetap menjadi ruang pertama yang paling menentukan pembentukan karakter. Orang tua memainkan peran penting dalam memberi contoh sikap toleran, jujur, menghargai perbedaan, dan peduli terhadap sesama. Anak-anak yang tumbuh dengan teladan semacam itu akan membawa nilai Pancasila dalam dirinya tanpa harus dipaksa atau dihafalkan.
Namun, keluarga tidak dapat bekerja sendiri. Sekolah dan perguruan tinggi memegang tanggung jawab besar dalam memperkuat nilai-nilai tersebut. Pendidikan Pancasila perlu diintegrasikan dalam kegiatan sehari-hari, bukan hanya sebagai materi akademik.
Contohnya melalui program gotong royong membersihkan lingkungan sekolah, kerja bakti di masyarakat, lomba kreativitas bertema kebangsaan, atau proyek kolaboratif antar-siswa yang melatih empati dan tanggung jawab.
Guru dan dosen pun memegang peran penting. Mereka tidak hanya menjadi penyampai materi, tetapi juga teladan moral. Pendidikan karakter berbasis Pancasila tidak dapat dibangun secara instan. Ia memerlukan lingkungan yang kondusif, kebiasaan yang berulang, dan konsistensi dalam keteladanan.
Dengan demikian, generasi muda tidak hanya memahami Pancasila secara teoritis, tetapi juga menghidupkannya dalam tindakan sehari-hari di dunia nyata maupun dunia digital.
Pancasila bukan sekadar teks yang dibacakan saat upacara atau dihafal menjelang ujian. Ia adalah panduan hidup yang relevan kapan pun dan di mana pun. Tantangan generasi muda memang besar, terutama di era digital yang serba cepat ini. Namun mereka memiliki peluang luar biasa untuk menjadikan Pancasila sebagai bagian dari identitas, kreativitas, dan gaya hidup.
Transformasi Pancasila menjadi gaya hidup kreatif Gen Z merupakan langkah strategis untuk memastikan bahwa nilai-nilai luhur bangsa tetap hidup, relevan, dan membumi. Dengan kreativitas, teknologi, dan aksi nyata, generasi muda dapat membawa Pancasila bukan hanya sebagai peninggalan sejarah, tetapi sebagai fondasi masa depan.
Berbicara panjang tentang nasionalisme mungkin tidak lagi efektif. Namun berlaku adil, peduli, jujur, toleran, dan mampu menghormati perbedaan baik di dunia nyata maupun dunia maya adalah wujud paling nyata dari pengamalan Pancasila hari ini. Jika generasi muda mampu menjadikan Pancasila sebagai gaya hidup, maka Indonesia tidak hanya akan maju dalam teknologi, tetapi juga kukuh dalam karakter, bermoral, dan berdaulat.
Sumber: https://www.krajan.id/generasi-muda-dalam-mengamalkan-pancasila-di-era-modern/
Penulis : Pradita Syifa Azizah / Mahasiswa Program Studi Akuntansi / Universitas Internasional Semen Indonesia
Editor : Anisa Putri









