Di tengah hiruk-pikuk kehidupan kampus, terdapat fenomena yang kian meresahkan: kuliah yang seharusnya menjadi ajang pembelajaran dan pengembangan diri perlahan berubah menjadi arena untuk memamerkan gaya hidup.
Tren hedonisme di kalangan mahasiswa semakin mengaburkan esensi utama pendidikan tinggi. Alih-alih menjadi ruang untuk berpikir kritis, mengasah kemampuan, dan mempersiapkan masa depan, kampus malah menjadi tempat di mana gaya hidup konsumtif, kesenangan instan, dan pencitraan sosial mendominasi.
Hedonisme, atau pandangan hidup yang menempatkan kebahagiaan dan kenikmatan sebagai tujuan utama, memang bukan hal baru. Namun, di era media sosial dan gaya hidup modern, nilai-nilai ini semakin meresap ke dalam kehidupan mahasiswa. Penampilan menjadi prioritas, aktivitas sosial yang mewah menjadi kebiasaan, dan pembelian barang-barang bermerek dianggap sebagai simbol status.
Salah satu faktor utama yang mendorong tren ini adalah pengaruh media sosial. Kehidupan yang tampak sempurna di Instagram, TikTok, atau platform lainnya sering kali menjadi acuan. Tidak sedikit mahasiswa yang merasa tertekan untuk menunjukkan diri mereka “sukses” secara visual, meski itu harus mengorbankan keuangan atau waktu yang seharusnya digunakan untuk belajar.
Tak jarang, seseorang lebih memprioritaskan foto di kafe mahal atau perjalanan ke luar kota dibandingkan tugas kuliah atau diskusi akademik.
Faktor lain adalah budaya dan lingkungan sosial. Di beberapa kampus, norma-norma sosial yang mendorong konsumsi dan kesenangan menjadi bagian dari identitas kelompok. Mahasiswa yang tidak mengikuti arus ini sering kali merasa terasing.
Akibatnya, banyak yang memilih beradaptasi dengan budaya tersebut demi diterima, meskipun itu bertentangan dengan nilai-nilai mereka. Fenomena ini membawa dampak negatif yang signifikan, baik di tingkat individu maupun kolektif.
Secara individu, mahasiswa yang terlalu fokus pada gaya hidup hedonis sering kehilangan arah dalam pendidikan mereka. Prestasi akademik menurun karena waktu, energi, dan perhatian lebih banyak dicurahkan pada hal-hal yang bersifat sementara. Tidak sedikit yang terjerat utang akibat gaya hidup konsumtif yang tidak sejalan dengan kondisi keuangan mereka.
Secara kolektif, tren ini menciptakan iklim kampus yang semakin menjauh dari idealisme pendidikan. Alih-alih menjadi pusat intelektual yang memupuk diskusi kritis dan inovasi, kampus menjadi tempat di mana pencitraan sosial lebih dihargai daripada pencapaian akademik.
Hal ini pada akhirnya merugikan kualitas generasi muda, yang seharusnya menjadi agen perubahan bagi masyarakat. Bahkan lebih jauh lagi, hedonisme dapat memengaruhi dinamika sosial di dalam kampus.
Mahasiswa dari latar belakang ekonomi yang berbeda merasa tertekan untuk “mengikuti arus”, yang kemudian menciptakan kesenjangan sosial yang semakin lebar. Ketimpangan ini tidak hanya berdampak pada hubungan antarmahasiswa, tetapi juga pada pola pikir mereka tentang nilai-nilai keberagaman dan inklusi sosial.
Melawan hedonisme di kalangan mahasiswa bukanlah tugas yang mudah, terutama karena tren ini sudah mengakar dalam budaya populer. Namun, ada langkah-langkah strategis yang dapat diambil untuk mengatasinya.
Mahasiswa perlu merenungkan tujuan utama mereka berkuliah. Apakah hanya untuk bersenang-senang dan mengejar status sosial, atau untuk benar-benar belajar dan berkembang? Dengan kesadaran yang jelas, mereka dapat membuat keputusan yang lebih bijak dalam menentukan prioritas. Pendidikan keuangan seharusnya menjadi bagian dari kehidupan mahasiswa.
Dengan memahami cara mengelola uang, mahasiswa dapat menghindari godaan untuk hidup konsumtif dan memprioritaskan kebutuhan daripada keinginan. Langkah ini tidak hanya membantu mereka secara finansial, tetapi juga mendorong mereka untuk hidup lebih sederhana.
Media sosial adalah salah satu pendorong utama hedonisme. Dengan mengurangi waktu yang dihabiskan di platform ini, mahasiswa dapat lebih fokus pada hal-hal yang bermakna dan tidak terpengaruh oleh tekanan sosial.
Mereka juga dapat belajar untuk menilai diri sendiri berdasarkan pencapaian pribadi, bukan berdasarkan validasi dari dunia maya. Institusi pendidikan memiliki peran besar dalam mengubah budaya ini. Kampus dapat mengadakan program yang mendorong aktivitas akademik dan pengembangan diri, seperti seminar, workshop, atau kompetisi.
Selain itu, lingkungan kampus juga perlu mendukung mahasiswa untuk lebih menghargai pencapaian intelektual daripada sekadar penampilan atau gaya hidup.
Orang tua, dosen, dan masyarakat harus bersama-sama menanamkan nilai-nilai yang lebih dalam kepada mahasiswa. Menghargai proses, memupuk rasa ingin tahu, dan melihat pendidikan sebagai investasi jangka panjang adalah nilai-nilai yang perlu terus ditekankan.
Dengan dukungan dari berbagai pihak, mahasiswa dapat diarahkan kembali pada tujuan sebenarnya dari pendidikan. Pendidikan tinggi seharusnya menjadi proses yang memanusiakan manusia. Pendidikan adalah perjalanan untuk memahami dunia, mengembangkan potensi, dan memberi makna bagi kehidupan.
Ketika pendidikan hanya dilihat sebagai tiket untuk meraih status sosial atau kesenangan duniawi, maka kita telah kehilangan esensi sejatinya.
Melawan tren hedonisme di kalangan mahasiswa adalah upaya untuk mengembalikan makna pendidikan itu sendiri. Perjalanan ini memang tidak mudah, tetapi setiap langkah kecil yang kita ambil dapat membawa perubahan.
Mahasiswa, sebagai generasi penerus bangsa, harus kembali memahami bahwa masa kuliah adalah masa untuk belajar, bukan hanya untuk bersenang-senang. Selain itu, penting untuk mengingatkan bahwa kebahagiaan sejati bukanlah hasil dari pencitraan sosial atau barang-barang mewah.
Kebahagiaan sejati muncul ketika kita mampu menemukan makna dan tujuan hidup yang lebih dalam. Pendidikan adalah salah satu alat utama untuk mencapai hal ini.
Mari bersama-sama mengingatkan diri bahwa pendidikan adalah investasi yang jauh lebih berharga daripada sekadar kebahagiaan instan. Masa depan kita, dan masa depan bangsa ini, bergantung pada bagaimana kita memanfaatkan waktu dan peluang di masa muda.
Jangan biarkan tren hedonisme mengalihkan fokus kita dari hal yang benar-benar penting. Masa depan yang gemilang hanya dapat dicapai dengan usaha yang tekun, pemikiran kritis, dan dedikasi pada nilai-nilai yang bermakna.
Penulis : Maisitoh / Universitas Dharmas Indonesia
Editor : Anisa Putri