Saatnya Berubah: Menepis Stigma Kekerasan di Madura

- Jurnalis

Selasa, 8 Juli 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Penulis Fathiyyatus Sa'adah

Penulis Fathiyyatus Sa'adah

Madura, sebuah pulau di timur laut Jawa, telah lama dikenal lewat keunikan budaya dan kekayaan tradisinya. Karapan sapi, sape sonok, produksi garam, hingga kemegahan Jembatan Suramadu menjadi ikon yang melekat kuat dalam citra kolektif masyarakat Indonesia tentang pulau ini. Namun di balik semua keindahan tersebut, Madura kerap dibayang-bayangi oleh stigma yang tidak menyenangkan yakni label kekerasan.

Stigma ini telah hidup lama, seakan menjadi warisan turun-temurun yang mengakar kuat. Orang Madura sering digambarkan sebagai pribadi yang keras kepala, mudah tersulut emosi, dan tidak segan-segan menggunakan kekerasan fisik.

Meskipun tidak sepenuhnya benar, realitas sosial di beberapa wilayah di Madura memang masih memunculkan potret semacam itu. Maka pertanyaannya adalah: apakah stigma ini akan terus melekat? Atau sudah saatnya Madura membuktikan bahwa citra tersebut tidak lagi relevan di era modern?

Opini ini tidak bertujuan menggeneralisasi seluruh masyarakat Madura. Justru sebaliknya, ini adalah ajakan reflektif terutama kepada generasi muda Madura untuk merefleksikan realitas yang ada dan turut mengambil peran dalam perubahan menuju masyarakat yang damai dan sejahtera.

Tak dapat dimungkiri, kasus kekerasan, bentrokan antarwarga, hingga konflik berdarah yang masih kerap terjadi menjadi bahan pemberitaan yang memperkuat citra negatif Madura di mata publik. Banyak di antaranya disebabkan oleh sengketa lahan, dendam lama, atau bahkan persoalan sepele yang memicu letupan besar. Media kemudian mengabadikannya dalam narasi-narasi yang sensasional, dan lambat laun membentuk opini publik yang sulit diubah.

Pepatah lama yang berbunyi “Oreng Madhura takot mateh” atau “Orang Madura tidak takut mati,” seringkali disalahartikan. Padahal, pepatah ini bermakna mendalam tentang keberanian dan tekad menjaga harga diri dan kehormatan. Namun dalam praktiknya, sebagian masyarakat memaknainya secara sempit, bahkan menjadikannya justifikasi untuk tindakan kekerasan.

Tentu, tidak semua orang Madura bersikap demikian. Banyak contoh nyata menunjukkan masyarakat Madura justru menjunjung tinggi nilai-nilai luhur seperti gotong royong, solidaritas, dan perdamaian. Para tokoh agama, kiai pesantren, dan pemuka adat kerap menjadi panutan dalam menyelesaikan konflik secara damai dan bijaksana. Ini membuktikan bahwa karakter keras orang Madura tidak harus berujung pada kekerasan fisik. Watak keras bisa diartikan sebagai keteguhan, daya juang, dan kerja keras yang luar biasa.

Baca Juga :  Kehilangan Konsentrasi Anak Akibat Gadget: Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Stigma kekerasan yang melekat pada Madura tidak muncul begitu saja. Ia merupakan produk dari sejarah panjang, dinamika sosial, dan tekanan ekonomi yang saling berkait. Secara historis, masyarakat Madura dikenal sebagai pejuang gigih sejak masa kolonial.

Lingkungan alam yang tandus dan minim sumber daya alam membuat mereka ditempa menjadi pribadi yang tahan banting dan pekerja keras. Kondisi inilah yang kemudian membentuk karakter keras sebagai mekanisme bertahan hidup.

Sayangnya, dalam konteks sosial saat ini, karakter keras tersebut kadang disalurkan dalam bentuk negatif. Pendidikan yang belum merata serta kondisi ekonomi yang timpang masih menjadi tantangan nyata. Di beberapa wilayah, minimnya akses pendidikan menyebabkan masyarakat cenderung menyelesaikan konflik dengan cara yang cepat dan instan: kekerasan.

Komunikasi tidak dibangun dengan dialog, musyawarah tergantikan oleh emosi, dan konflik menjadi bom waktu yang mudah meledak. Ketika tekanan hidup tinggi akibat kemiskinan, sedikit saja percikan bisa memicu pertengkaran.

Untuk mengubah semua itu, dibutuhkan kesadaran kolektif. Perubahan tidak bisa hanya dibebankan pada satu pihak, melainkan harus menjadi gerakan bersama. Salah satu langkah awal adalah memperkuat pendidikan karakter.

Nilai-nilai Islam yang diajarkan di pesantren harus benar-benar diinternalisasi dalam kehidupan sehari-hari. Kiai, guru, dan orang tua berperan penting dalam menanamkan akhlak, sikap sabar, dan kemampuan menyelesaikan masalah tanpa kekerasan.

Selain itu, pemberdayaan ekonomi harus menjadi prioritas. Ketimpangan ekonomi bisa menjadi sumber konflik laten jika tidak diatasi. Masyarakat harus didorong untuk mengembangkan potensi lokal seperti industri garam, batik, wisata budaya, serta produk olahan khas Madura.

UMKM perlu didukung agar bisa tumbuh, membuka lapangan kerja, dan memberikan harapan baru bagi generasi muda. Ketika kesejahteraan meningkat, ketegangan sosial pun menurun.

Langkah selanjutnya adalah penguatan institusi sosial. Pemerintah daerah bersama tokoh masyarakat perlu menggencarkan edukasi damai melalui forum warga, pelatihan mediasi, dan penyuluhan hukum.

Masyarakat harus diberikan pemahaman bahwa penyelesaian konflik tidak harus selalu berujung pada kekerasan. Di sinilah peran media menjadi sangat penting. Media lokal harus berani mengangkat narasi positif dari Madura, tidak hanya mengejar sensasi dari konflik berdarah.

Di tengah arus digitalisasi, generasi muda Madura memiliki peran krusial sebagai agen perubahan. Mereka yang akrab dengan teknologi dan media sosial dapat menjadi juru bicara yang memperkenalkan wajah baru Madura. Bukan Madura yang keras dan menakutkan, melainkan Madura yang santun, toleran, dan cerdas. Mereka bisa menunjukkan bahwa identitas Madura tidak bertentangan dengan kemajuan dan peradaban modern.

Baca Juga :  Pendidikan di Indonesia: Perkembangan dan Tantangan Berdasarkan Data BPS

Fakta bahwa banyak anak muda Madura sukses di berbagai bidang adalah bukti bahwa transformasi itu mungkin. Ada yang menjadi pejabat publik, akademisi, pengusaha, hingga influencer yang membawa pengaruh positif. Keberhasilan mereka menjadi inspirasi bahwa watak keras khas Madura dapat diarahkan ke hal-hal konstruktif: semangat belajar, kegigihan berwirausaha, dan keberanian membela nilai-nilai keadilan.

Contoh perubahan nyata juga bisa dilihat dari beberapa desa yang dulu dikenal rawan konflik, kini berubah menjadi desa wisata yang aman dan ramah. Keberhasilan ini harus menjadi teladan bagi wilayah lain di Madura. Sebab, di balik stigma kekerasan yang selama ini membayangi, terdapat potensi luar biasa yang belum tergali sepenuhnya.

Memang, jalan menuju perubahan tidak pernah mudah. Tapi jika tidak dimulai sekarang, stigma kekerasan akan terus menjadi beban. Madura akan selalu dipandang dengan kecurigaan, meski kenyataannya tidak seluruh masyarakat bersikap demikian. Masyarakat Madura berhak mendapatkan citra yang lebih baik: sebagai komunitas yang gigih bekerja, menjaga kehormatan, dan hidup rukun dengan sesama.

Penulis ingin menegaskan bahwa stigma bukan takdir. Ia adalah label yang bisa dihapus jika kita memiliki keberanian untuk berubah. Madura memiliki semua modal sosial yang diperlukan untuk mewujudkan hal itu: nilai kekeluargaan yang kuat, budaya gotong royong, dan fondasi religius yang kokoh. Dengan semua itu, Madura bisa membangun masa depan yang lebih baik masa depan yang membanggakan.

Kini saatnya Madura berubah. Kini saatnya kita membuktikan bahwa watak keras bukan simbol kekerasan, melainkan simbol semangat pantang menyerah, keberanian membela kebenaran, dan tekad membangun kampung halaman dengan cara damai dan bermartabat.

Karena di atas tanah garam dan suara karapan sapi inilah masa depan generasi Madura akan ditentukan. Dan di sinilah, harapan baru untuk Madura yang lebih damai dan sejahtera bisa dimulai.

Penulis : Fathiyyatus Sa'adah

Editor : Anisa Putri

Follow WhatsApp Channel sorotnesia.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Sarjana Muslim di Tengah Tantangan Dunia Kerja
Islam dan Luka Ekologis: Menimbang Kembali Etika Pertambangan dalam Perspektif Syariat
Antara Husnuzan dan Trust Issue: Menjaga Keseimbangan di Tengah Dunia yang Rumit
Fatwa-Fatwa Kontemporer Ulama Dunia soal Perang: Antara Jihad dan Kemanusiaan
Pernikahan Dini dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Indonesia: Antara Syariat dan Regulasi Negara
Kenapa Tata Cara Shalat Berbeda? Ini Penjelasan Menurut Mazhab
BNPL: Inovasi Finansial atau Jeratan Riba?
Perbedaan Pendapat Ulama: Kekuatan atau Kelemahan Bagi Umat Islam ?

Berita Terkait

Selasa, 8 Juli 2025 - 18:36 WIB

Saatnya Berubah: Menepis Stigma Kekerasan di Madura

Senin, 30 Juni 2025 - 21:30 WIB

Sarjana Muslim di Tengah Tantangan Dunia Kerja

Sabtu, 28 Juni 2025 - 14:40 WIB

Islam dan Luka Ekologis: Menimbang Kembali Etika Pertambangan dalam Perspektif Syariat

Sabtu, 28 Juni 2025 - 14:10 WIB

Antara Husnuzan dan Trust Issue: Menjaga Keseimbangan di Tengah Dunia yang Rumit

Jumat, 27 Juni 2025 - 19:30 WIB

Fatwa-Fatwa Kontemporer Ulama Dunia soal Perang: Antara Jihad dan Kemanusiaan

Berita Terbaru

Penulis Fathiyyatus Sa'adah

Opini

Saatnya Berubah: Menepis Stigma Kekerasan di Madura

Selasa, 8 Jul 2025 - 18:36 WIB

Ilustrasi seorang pria sedang mendergan musik. Foto: Freepik

Esai

Hukum Mendengarkan Musik dalam Islam dan Dalilnya

Sabtu, 5 Jul 2025 - 10:30 WIB