Menyuarakan Hak Aborsi Bagi Korban Pelecehan Seksual

- Jurnalis

Sabtu, 11 Januari 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ilustrasi/she

Ilustrasi/she

Tahukah Anda bahwa ada sebuah penelitian yang menemukan sekitar 60.000 perempuan hamil akibat pemerkosaan di negara-negara yang tidak mengizinkan aborsi sebagai alasan yang sah? Dari 519.981 kasus pemerkosaan yang tercatat, sekitar 91% kehamilan tersebut terjadi di negara-negara bagian yang membatasi aborsi tanpa memberikan pengecualian bagi korban pemerkosaan.

Pelecehan seksual dan pemerkosaan adalah pelanggaran hak asasi manusia, meskipun keduanya memiliki perbedaan yang signifikan.

Menurut World Health Organization, pelecehan seksual adalah tindakan bersifat seksual yang bisa berupa verbal, fisik, atau non-verbal seperti komentar, ajakan, atau sentuhan yang tidak diinginkan, dan dilakukan tanpa persetujuan korban.

Pelecehan seksual dapat terjadi pada siapa saja tanpa memandang jenis kelamin, usia, atau status sosial. Di sisi lain, pemerkosaan didefinisikan sebagai penetrasi vagina, anal, atau oral tanpa persetujuan korban. Pemerkosaan melibatkan unsur paksaan atau ancaman kekerasan dan merupakan bentuk kekerasan seksual yang lebih berat dengan konsekuensi hukum yang lebih serius.

Di Indonesia, hukum tentang pelecehan seksual dan pemerkosaan telah diatur melalui Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) tahun 2022, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan undang-undang lain seperti UU ITE dan UU Perlindungan Anak.

Dalam Pasal 285 KUHP, pemerkosaan diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun. Namun, pasal ini memiliki kelemahan seperti definisi yang terbatas, tidak mengakui korban laki-laki, dan tidak mengatur pemerkosaan dalam perkawinan. UU TPKS 2022 dan KUHP baru 2023 mencoba memperbaiki kelemahan tersebut dengan pendekatan yang lebih komprehensif dan berorientasi pada perlindungan korban.

Ketika mendengar kata “aborsi,” banyak masyarakat mengasosiasikannya dengan hal negatif. Stigma ini muncul karena persepsi bahwa aborsi adalah tindakan menyimpang, meskipun sering kali aborsi dilakukan karena situasi seperti pelecehan seksual, kehamilan tidak diinginkan, atau keadaan darurat kesehatan.

Baca Juga :  Peran Penting Generasi Muda Menuju Indonesia Emas 2045

Aborsi sebagai dampak pelecehan seksual tidak hanya dialami oleh perempuan, tetapi juga kelompok rentan seperti anak-anak, remaja, lansia, penyandang disabilitas, korban konflik, komunitas LGBTQ+, dan lainnya.

Menurut data UN Women, sekitar satu dari tiga perempuan di seluruh dunia mengalami kekerasan fisik atau seksual dalam hidup mereka, atau sekitar 33%. Dalam kasus korban pemerkosaan, banyak ahli hukum dan psikolog berpendapat bahwa aborsi adalah hak korban untuk menentukan nasib tubuhnya sendiri. UU Kesehatan dan KUHP terbaru di Indonesia mengizinkan aborsi bagi korban pemerkosaan dalam batas waktu tertentu, sebagai bagian dari perlindungan hukum.

Selain itu, banyak psikolog berpendapat bahwa melanjutkan kehamilan akibat pemerkosaan dapat memperburuk kondisi mental korban. Sebagai contoh, kasus di Medan pada 2017 menunjukkan seorang perempuan hamil akibat pemerkosaan mencoba mengakhiri hidupnya karena merasa tidak ada jalan keluar dari situasinya. Hal ini mencerminkan dampak psikologis yang mendalam dari kehamilan tidak diinginkan akibat pemerkosaan.

Organisasi kesehatan reproduksi menegaskan bahwa akses terhadap aborsi yang aman adalah bagian dari hak kesehatan reproduksi. Oleh karena itu, korban harus memiliki pilihan tanpa stigma. Konseling yang memadai sebelum pengambilan keputusan sangat penting agar korban memahami semua pilihan yang ada. Dengan demikian, aborsi dianggap sebagai bagian dari perlindungan dan pemulihan korban, bukan sekadar tindakan medis.

Namun, menyuarakan hak korban pelecehan seksual untuk melakukan aborsi menghadapi tantangan besar berupa stigma sosial. Stigma ini muncul dari norma budaya yang merendahkan perempuan dan kurangnya pemahaman tentang kekerasan seksual. Dalam beberapa masyarakat, aborsi masih dianggap tabu, sementara melanjutkan kehamilan lebih diterima secara sosial. Hal ini membuat korban sering kali menghadapi tekanan dari keluarga dan masyarakat untuk tidak melakukan aborsi.

Baca Juga :  Apakah Remaja Mendapat Masalah Karena Mereka Bosan?

Stigma ini juga membuat korban merasa malu dan bersalah, sehingga enggan melapor atau mencari bantuan. Dalam konteks aborsi, stigma dapat mempersulit korban untuk mengambil keputusan terkait tubuh mereka sendiri. Mereka kerap menghadapi tekanan tambahan dari masyarakat yang menghakimi pilihan mereka, baik untuk melanjutkan kehamilan maupun menggugurkan kandungan.

Untuk mengatasi hal ini, diperlukan edukasi masyarakat tentang pentingnya mendukung korban kekerasan seksual dan menghormati hak reproduksi mereka. Selain itu, pendekatan yang lebih humanis dan empati dari keluarga, masyarakat, serta pemerintah sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi korban. Dengan mengurangi stigma, kita tidak hanya melindungi korban dari penilaian negatif, tetapi juga memastikan mereka memiliki hak untuk membuat keputusan terbaik bagi hidup dan kesehatan mereka.

Dalam konteks aborsi, stigma ini dapat mempersulit korban yang mungkin hamil akibat pemerkosaan untuk mengambil keputusan mengenai tubuh mereka sendiri. Korban sering kali menghadapi tekanan tambahan dari masyarakat yang menghakimi pilihan mereka, baik untuk melanjutkan kehamilan atau melakukan aborsi.

Oleh karena itu, upaya untuk mengurangi stigma melalui edukasi masyarakat dan dukungan bagi korban sangat penting, tidak hanya untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman, tetapi juga untuk memastikan bahwa korban memiliki hak untuk membuat keputusan terkait kesehatan reproduksi mereka tanpa rasa takut akan penilaian negatif.

Penulis : Kurnia Putri / Universitas Dharmas Indonesia

Editor : Anisa Putri

Follow WhatsApp Channel sorotnesia.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Hukum: Fungsi, Masalah, dan Solusi dalam Implementasinya
Pers – Peran, Tantangan, dan Solusinya
Peran Anak Muda dalam Meningkatkan Ekonomi di Era Digital
Perilaku Bullying di Kalangan Remaja: Sebuah Ancaman Serius
Bahaya Narkoba bagi Pelajar, Ancaman Nyata bagi Masa Depan
Peran Penting Generasi Muda Menuju Indonesia Emas 2045
Keselamatan Lalu Lintas: Tanggung Jawab Bersama untuk Masa Depan yang Lebih Baik
Menelusuri Ketidakadilan di Papua: Pelanggaran HAM dan Peran Otonomi Khusus

Berita Terkait

Senin, 17 Februari 2025 - 18:20 WIB

Hukum: Fungsi, Masalah, dan Solusi dalam Implementasinya

Senin, 17 Februari 2025 - 17:39 WIB

Pers – Peran, Tantangan, dan Solusinya

Minggu, 9 Februari 2025 - 20:59 WIB

Peran Anak Muda dalam Meningkatkan Ekonomi di Era Digital

Minggu, 9 Februari 2025 - 18:26 WIB

Perilaku Bullying di Kalangan Remaja: Sebuah Ancaman Serius

Minggu, 9 Februari 2025 - 16:57 WIB

Bahaya Narkoba bagi Pelajar, Ancaman Nyata bagi Masa Depan

Berita Terbaru

Ilustrasi foto. (freepik)

Opini

Manajemen Inovasi: Peluang dan Tantangan di Era Disrupsi

Selasa, 25 Mar 2025 - 21:32 WIB